“PUTUSAN NO. 168/PUU-XXI/2023”
Melalui putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, MK menetapkan perubahan pada beberapa pasal tentang ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Perubahan tersebut mencakup aturan penggunaan tenaga kerja asing (TKA), alih daya, batas waktu perjanjian kerja, penentuan upah minimum dan struktur skala upah, prosedur perselisihan hubungan industrial, dan pesangon.
- Ketentuan Ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja yang Diubah MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “MK”) Nomor 168/PUU-XXI/2023, menetapkan perubahan pada beberapa ketentuan penting tentang ketenagakerjaan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dengan ketentuan yang diubah adalah sebagai berikut:
- Penggunaan tenaga kerja asing (TKA);
- Batas waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);
- Pelaksanaan alih daya (outsourcing);
- Waktu istirahat;
- Penentuan upah minimum dan struktur skala upah;
- Prosedur Perselisihan Hubungan Industrial (PHI); dan
- Pesangon.
Melalui putusan MK ini pada dasarnya adalah untuk bertujuan memberikan kepastian hukum dan memperkuat posisi pekerja (lokal) Indonesia di tengah peningkatan jumlah penggunaan TKA, dan dalam rangka perlindungan terhadap hak pekerja serta memastikan bahwa ketentuan ketenagakerjaan sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
- Perbandingan Perubahan Ketentuan Pasal Ketenagakerjaan
Berikut ini ringkasan putusan MK No: 168/PUU-XXI/2023 dan hasil perubahannya pada tabel berikut:
No | Pasal UU Cipta Kerja yang diubah | Hasil Perubahan |
---|---|---|
|
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) | |
1 | Pasal 81 angka 4 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 42 ayat (1) UUK | Frasa: “Pemerintah Pusat“, dalam kalimat “Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat”
Harus dimaknai sebagai: “menteri yang bertanggung-jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja” |
2 | Pasal 81 angka 4 UUCK yang mengubah ketentuan 42 ayat (4) UUK | Kalimat: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki”
Harus dimaknai sebagai: “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia” |
|
Batas Waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) | |
3 | Pasal 81 angka 12 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 56 ayat (3) UUK | Kalimat: “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja”
Harus dimaknai sebagai: “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan” |
4 | 81 angka 13 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal Pasal 57 ayat (1) UUK | Kalimat: “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin”
Harus dimaknai sebagai: “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin” |
|
Pelaksanaan alih daya (outsourcing) | |
5 | Pasal 81 angka 18 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 64 ayat (2) UUK | Kalimat: “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”
Harus dimaknai sebagai: “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya” |
|
Waktu Istirahat | |
6 | Pasal 81 angka 25 UUCK yang mengubah Pasal 79 ayat (2) huruf b UUK | Kalimat: “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”
Harus dimaknai sebagai mencakup frasa: “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu” |
7 | Pasal 81 angka 25 UUCK yang mengubah Pasal 79 ayat (5) UUK | Frasa “dapat” dalam kalimat: “Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama”
Dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. |
|
Penentuan Upah Minimum dan Struktur Skala Upah | |
8 | Pasal 81 angka 27 UUCK yang mengubah Pasal Pasal 88 ayat (1) UUK | Kalimat: “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Harus dimaknai: “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua” |
9 | Pasal 81 angka 27 UUCK yang mengubah Pasal 88 ayat (2) UUK | Kalimat: “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Harus dimaknai: “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan” |
10 | Pasal 81 angka 27 UUCK yang mengubah Pasal 88 ayat (3) huruf b | Frasa: “struktur dan skala upah”
Harus dimaknai sebagai: “struktur dan skala upah yang proporsional” |
11 | Pasal 81 angka 28 UUCK yang menyisipkan Pasal 88C ke dalam UUK | Pasal 88C UUK harus dimaknai: “Termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota” |
12 | Pasal 81 angka 28 UUCK yang meyisipkan Pasal 88D ayat (2) ke dalam UUK | Frasa: “Indeks Tertentu” dalam kalimat: “Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu”
Harus dimaknai sebagai: “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi pekerja/buruh” |
13 | Pasal 81 angka 28 UUCK yang menyisipkan Pasal 88F ke dalam UUK | Frasa: “dalam keadaan tertentu”
Harus dimaknai sebagai: “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” |
14 | Pasal 81 angka 31 UUCK yang menyisipkan Pasal 90A ke dalam UUK | Kalimat: “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”
Harus dimaknai sebagai: “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan” |
15 | Pasal 81 angka 33 UUCK yang mengubah Pasal 92 ayat (1) UUK | Kalimat: “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas”
Harus dimaknai sebagai: “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi” |
16 | Pasal 81 angka 36 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 95 ayat (3) UUK | Kalimat: “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”
Harus dimaknai sebagai: “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan” |
17 | Pasal 81 angka 39 UUCK yang mengubah ketentuan 98 ayat (1) UUK | Kalimat: “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk Dewan Pengupahan”
Harus dimaknai sebagai: “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk Dewan Pengupahan yang berpartisipasi secara aktif” |
|
Prosedur Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) | |
18 | Pasal 81 angka 40 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 151 ayat (3) UUK | Frasa: “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”
Harus dimaknai sebagai: “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh” |
19 | Pasal 81 angka 40 UUCK yang mengubah Pasal 151 ayat (4) UUK | Frasa: “Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”
Harus dimaknai sebagai: “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap” |
20 | Pasal 81 angka 49 UUCK yang menyisipkan Pasal 157A ayat (3) UUK | Frasa: “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya”
Harus dimaknai sebagai: “sampai berakhirnya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI” |
|
Pesangon | |
21 | Pasal 81 angka 47 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 156 ayat (2) UUK | Frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam kalimat: “Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut”
Harus dimaknai sebagai: “paling sedikit” |
- Konsekuensi Hasil Putusan MK
Berdasarkan pada hasil putusan MK tersebut, maka selanjutnya dapat dicatat terdapat konsekuensi yang akan diberlakukan sebagai berikut:
- RPTKA harus disahkan Menteri Ketenagakerjaan;
- Semua jenis pekerjaan diutamakan untuk pekerja/buruh Indonesia;
- Jangka waktu PKWT maksimal hanya untuk 5 tahun sudah termasuk perubahan dan/atau perpanjangannya;
- Menteri menetapkan jenis dan pekerjaan alih daya;
- Waktu istirahat 1 (satu) atau 2 (dua) hari dalam seminggu;
- Pemberian istirahat panjang wajib diatur dalam Perjanjian Kerja, PP/PKB oleh perusahaan/pengusaha;
- Merekomendasikan pembentuk undang-undang untuk menerbitkan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Ketenagakerjaan tersendiri yang terpisah dari Undang-Undang Cipta Kerja; dan
- Merekomendasikan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan TKA.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi kami
Melalui/ For more detailed information, please do not hesitate to contact us below:
|
|||||||||||
Disclaimer:The information contained in this newsletter is not intended as legal advice, legal opinion, or legal suggestion suitable for your business. Readers acknowledge that each company operates differently, and the information provided may not be applicable to all business activities. It is strongly recommended that readers consult with a professional or contact us directly before taking any legal action based on the information provided in this newsletter. By reading this newsletter, the reader agrees to discharge any claim, compensation, lawsuit, fine, or any penalty that might occur according to any information provided herein. |