Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang telah diamendemen oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 (selanjutnya disebut “Perpres 16/2018”), mendorong kebijakan khusus yang membahas pengadaan barang/jasa pemerintah secara berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dari uang yang dikeluarkan, sekaligus mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi selama produksi, penggunaan, dan setelah pemakaian barang/jasa tersebut (selanjutnya disebut “Pengadaan Berkelanjutan”).
Demi mencapai tujuan yang disebutkan di atas, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut “LKPP”) baru-baru ini mengeluarkan seperangkat pedoman komprehensif yang secara spesifik membahas implementasi Pengadaan Berkelanjutan (selanjutnya disebut “Pedoman”) melalui Keputusan Kepala LKPP Nomor 157 tahun 2024 (selanjutnya disebut “Kepka LKPP 157/2024”), yang mulai berlaku sejak 13 Maret 2024. Pedoman ini secara rinci dijelaskan dalam Lampiran KepkaLKPP 157/2024 dan harus menjadi acuan bagi para pelaku pengadaan pemerintah dalam menerapkan Pengadaan Berkelanjutan. Para pelaku pengadaan ini mencakup:
- Pengguna Anggaran (Selanjutnya disebut “PA”) atau Kuasa Pengguna Anggaran (Selanjutnya disebut “KPA”);
- Pejabat Pembuat Komitmen (Selanjutnya disebut “PPK”); dan
- Kelompok Kerja Pemilihan (Selanjutnya disebut “Pokja”).
Pada intinya, Pedoman ini mencakup berbagai hal yang secara khusus berkaitan dengan penerapan Pengadaan Berkelanjutan, yang secara keseluruhan meliputi aspek-aspek berikut:
- Pengantar Pengadaan Berkelanjutan;
- Fase pelaksanaan Pengadaan Berkelanjutan;
- Peran dan tanggung jawab para pelaku Pengadaan Berkelanjutan yang relevan;
- Pemenuhan kriteria keberlanjutan melalui pelabelan dan standar barang/jasa; dan
- Pemanfaatan sistem elektronik dalam Pengadaan Berkelanjutan.
Dalam kaitannya dengan penerapan Pengadaan Berkelanjutan secara keseluruhan, Pedoman ini menyatakan bahwa aspek-aspek berikut harus dipertimbangkan:
- Aspek ekonomi (misalnya biaya dalam pembuatan barang/jasa selama periode penggunaan yang relevan)
- Aspek sosial (misalnya pemberdayaan usaha kecil, kondisi kerja yang adil, inklusivitas, dan sebagainya); dan
- Aspek lingkungan (misalnya mengurangi dampak negatif yang berkaitan dengan kesehatan, kualitas udara/tanah/air, dan pemanfaatan sumber daya alam).
Sebelumnya, perlu ditekankan bahwa Pelaksanaan Pengadaan Berkelanjutan dapat diselenggarakan baik melalui skema swakelola maupun melalui Pengadaan yang dilakukan melalui perusahaan atau individu yang menyediakan barang/jasa sesuai dengan kontrak (Selanjutnya disebut “Penyedia”).
Terkait dengan Pengadaan Berkelanjutan itu sendiri, Pedoman ini menjelaskan bahwa proses pengadaan tersebut terbagi menjadi tiga fase utama, sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Selama pelaksanaan pengadaan, UKPBJ juga dapat mewajibkan seluruh barang/jasa yang diadakan untuk mematuhi berbagai standar lingkungan atau keberlanjutan (misalnya pelabelan ramah lingkungan atau standar perdagangan yang adil) atau standar internasional lain yang relevan, sebagaimana diuraikan secara komprehensif dalam Lampiran 3 – 5 Pedoman.
Selain itu, hasil pelaksanaan yang diuraikan di atas harus dilaporkan sebagai bagian dari laporan tahunan atau laporan kinerja UKPBJ atau tersendiri dalam laporan khusus. Laporan tersebut kemudian dapat berfungsi sebagai alat untuk menilai keberlanjutan kontrak pengadaan dan pada akhirnya dapat menjadi dasar untuk penghentian kontrak lebih awal atau penerbitan peringkat kinerja buruk kepada Penyedia.
Berdasarkan Pedoman di bagian sebelumnya, setiap pelaku pengadaan yang melakukan kegiatan pengadaan melalui penggunaan dana negara wajib menggunakan sistem e-procurement. Tabel berikut merangkum sistem pengadaan secara elektronik yang tersedia untuk Pengadaan Berkelanjutan:
Kepka LKPP 157/2024 ini mulai berlaku tanggal 13 Maret 2024.