Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan (“UU 16/2004”) tidak diatur mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dapat mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali, namun dalam Pasal 35 huruf d UU 16/2004 diatur mengenai tugas dan kewenangan JPU untuk dapat “mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”, selanjutnya dalam perkembangannya terdapat permasalahan hukum yang sebagaimana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 (“PMK 33/2016”) dimana JPU mengajukan Upaya Hukum Luar Biasa yaitu Peninjauan Kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Agung, yang dimana hal tersebut tidak sesuai dengan isi Pasal 263 ayat (1) KUHAP bahwa yang hanya dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. sehingga dengan dasar tersebut Pemohon atau pihak yang merasa dirugikan mengajukan Permohonan Judicial Review (JR) kepada Mahkamah Konstitusi yang sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UndangUndang Mahkamah Konstitusi.
Dalam PMK 33/2016, MK mengabulkan permohonan pemohon PK dengan pertimbangan, sebagai berikut :
“Bahwa norma pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Pemaknaan yang berbeda terhadap norma tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikannya Inkonstitusional. Dengan itu Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian hukum yang adil norma pasal 263 ayat (1) KUHAP menjadi Inkonstitusional jika dimaknai lain”
Dengan PMK 33/2016 tersebut bersifat final dan mengikat bagi siapapun termasuk lembaga kejaksaan. Selanjutnya, pembentuk undang-undang melakukan revisi terhadap UU 16/2004 tentang Kejaksaan dengan mengubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU 11/2021”) yang dimana terdapat penambahan kewenangan JPU untuk mengajukan PK kepada Mahkamah Agung, yang sebagaimana diatur dalam Pasal 30 C huruf h UU 11/2021.
Dengan adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30 C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 tersebut akan mengakibatkan adanya diharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. sehingga pada tanggal 14 April 2023, Mahkamah Konstitusi mengakhiri polemik terkait Pasal 30 C huruf h UU No 11/2021 dengan menerbitkan Putusan MK No. 20/PUU-XXI/2023 yang menyatakan Pasal 30 C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf UU No 11/2021 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya MK menyebutkan sebagai berikut :
“Bahwa secara substansi norma Pasal 30 C huruf h UU 11/2021 yang memberikan tambahan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK tidak sejalan dengan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK melainkan hanya terpidana atau ahli warisnya”.
Dalam Putusan MK No. 20/PUU-XXI/2023, ditegaskan kembali perihal empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut :
- Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
- Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
- Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya; dan
- Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.